HUBUNGAN
INTERPERSONAL
Komunikasi
yang efektif ditandai dengan hubungan interpersonal yang baik, kegagalan
komunikasi sekunder terjadi bila isi pesan kita dipahami, tetapi hubungan di
antara komunikasi menjadi rusak. “ komunikasi interpersonal yang efektif
meliputi banyak unsur, tetapi hubungan interpersonal barangkali yang paling
penting,” tulis Anita Taylor et al.(1977:187). “Banyak penyebab dari rintangan
komunikasi berakibat kecil saja bila ada hubungan baik di antara komunikan.
Sebaliknya, pesan yang paling jelas, paling tegas, paling cermat tidak dapat
menghindari kegagalan, jika terjadi hubungan yang jelek.”Pandangan bahwa
komunikasi mendefinisikan hubungan interpersonal telah dikemukakan Ruesch dan
Bateson (1951) pada tahun 1950-an. Gagasan ini dipopulerkan di kalangan
komunikasi oleh Watzlawick, Beavin, dan Jackson(1967) dengan buku mereka
Pragmatics of Human Communication. psikolog pun mulai menaruh minat yang besar
pada hubungan interpersonal seperti tampak pada tulisan Fordon W.Allport
(1960), Erich Fromm (1962), Martin Buber (1957), Carl Rogers (1951). Semua
mewakili mazhab psikologi humanistic. Belakangan Arnold P.Goldstein (1975)
mengembangkan apa yang disebut sebagai “relationship-enchancement methods”
(metode peningkatan hubungan) dalam psikoterapi. Lame rumuskan metode ini tiga
prinsip : makin baik hubungan interpersonal, (1) makin terbuka pasien
mengungkapkan perasaannya, (2) makin cenderung ia meneliti perasaannya secara
mendalam beserta penolongnya (psikolog), dan (3) makin cenderung ia mendengar
dengan penuh perhatian dan bertindak atas nasihat yang diberikan penolongnya.
A. MODEL-MODEL
HUBUNGAN ITERPERSONAL
Ada
4 model hubungan interpersonal yaitu meliputi :
1. Model
pertukaran sosial (social exchange model)
Hubungan interpersonal diidentikan dengan suatu transaksi dagang. Orang berinteraksi karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Artinya dalam hubungan tersebut akan menghasilkan ganjaran (akibat positif) atau biaya (akibat negatif) serta hasil / laba (ganjaran dikurangi biaya).
Hubungan interpersonal diidentikan dengan suatu transaksi dagang. Orang berinteraksi karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Artinya dalam hubungan tersebut akan menghasilkan ganjaran (akibat positif) atau biaya (akibat negatif) serta hasil / laba (ganjaran dikurangi biaya).
2. Model
peranan (role model)
Hubungan interpersonal diartikan sebagai panggung sandiwara. Disini setiap orang memainkan peranannya sesuai naskah yang dibuat masyarakat. Hubungan akan dianggap baik bila individu bertindak sesuai ekspetasi peranan (role expectation), tuntutan peranan (role demands), memiliki ketrampilan (role skills) dan terhindar dari konflik peranan. Ekspetasi peranan mengacu pada kewajiban, tugas dan yang berkaitan dengan posisi tertentu, sedang tuntutan peranan adalah desakan sosial akan peran yang harus dijalankan. Sementara itu ketrampilan peranan adalah kemampuan memainkan peranan tertentu.
Hubungan interpersonal diartikan sebagai panggung sandiwara. Disini setiap orang memainkan peranannya sesuai naskah yang dibuat masyarakat. Hubungan akan dianggap baik bila individu bertindak sesuai ekspetasi peranan (role expectation), tuntutan peranan (role demands), memiliki ketrampilan (role skills) dan terhindar dari konflik peranan. Ekspetasi peranan mengacu pada kewajiban, tugas dan yang berkaitan dengan posisi tertentu, sedang tuntutan peranan adalah desakan sosial akan peran yang harus dijalankan. Sementara itu ketrampilan peranan adalah kemampuan memainkan peranan tertentu.
3. Model
permainan (games people play model)
Model menggunakan pendekatan analisis transaksional. Model ini menerangkan bahwa dalam berhubungan individu-individu terlibat dalam bermacam permaianan. Kepribadian dasar dalam permainan ini dibagi dalam 3 bagian yaitu :
• Kepribadian orang tua (aspek kepribadian yang merupakan asumsi dan perilaku yang diterima dari orang tua atau yang dianggap sebagi orang tua).
• Kepribadian orang dewasa (bagian kepribadian yang mengolah informasi secara rasional)
• Kepribadian anak (kepribadian yang diambil dari perasaan dan pengalaman kanak-kanak yang mengandung potensi intuisi, spontanitas, kreativitas dan kesenangan). Pada interaksi individu menggunakan salah satu kepribadian tersebut sedang yang lain membalasnya dengan menampilkan salah satu dari kepribadian tersebut. Sebagai contoh seorang suami yang sakit dan ingin minta perhatian pada istri (kepribadian anak), kemudian istri menyadari rasa sakit suami dan merawatnya (kepribadian orang tua).
Model menggunakan pendekatan analisis transaksional. Model ini menerangkan bahwa dalam berhubungan individu-individu terlibat dalam bermacam permaianan. Kepribadian dasar dalam permainan ini dibagi dalam 3 bagian yaitu :
• Kepribadian orang tua (aspek kepribadian yang merupakan asumsi dan perilaku yang diterima dari orang tua atau yang dianggap sebagi orang tua).
• Kepribadian orang dewasa (bagian kepribadian yang mengolah informasi secara rasional)
• Kepribadian anak (kepribadian yang diambil dari perasaan dan pengalaman kanak-kanak yang mengandung potensi intuisi, spontanitas, kreativitas dan kesenangan). Pada interaksi individu menggunakan salah satu kepribadian tersebut sedang yang lain membalasnya dengan menampilkan salah satu dari kepribadian tersebut. Sebagai contoh seorang suami yang sakit dan ingin minta perhatian pada istri (kepribadian anak), kemudian istri menyadari rasa sakit suami dan merawatnya (kepribadian orang tua).
4. Model
Interaksional (interacsional model)
Model ini memandang hubungann interpersonal sebagai suatu sistem . Setiap sistem memiliki sifat struktural, integratif dan medan. Secara singkat model ini menggabungkan model pertukaran, peranan dan permainan.
Model ini memandang hubungann interpersonal sebagai suatu sistem . Setiap sistem memiliki sifat struktural, integratif dan medan. Secara singkat model ini menggabungkan model pertukaran, peranan dan permainan.
B. Memulai
hubungan
Adapun tahap-tahap dalam
hubungan interpersonal yakni meliputi :
1. Pembentukan.
Tahap ini sering disebut juga
dengan tahap perkenalan. Beberapa peneliti telah menemukan hal-hal menarik dari
proses perkenalan. Fase pertama, “fase kontak yang permulaan”, ditandai oleh
usaha kedua belah pihak untuk menangkap informasi dari reaksi kawannya.
Masing-masing pihak berusaha menggali secepatnya identitas, sikap dan nilai
pihak yang lain. Bila mereka merasa ada kesamaan, mulailah dilakukan proses
mengungkapkan diri. Pada tahap ini informasi yang dicari meliputi data
demografis, usia, pekerjaan, tempat tinggal, keadaan keluarga dan sebagainya.
Menurut Charles R. Berger
informasi pada tahap perkenalan dapat dikelompokkan pada tujuh kategori, yaitu:
a. informasi
demografis
b. sikap
dan pendapat (tentang orang atau objek).
c. rencana
yang akan datang.
d. kepribadian.
e. perilaku
pada masa lalu.
f. orang
lain serta,
g. hobi
dan minat.
2. Peneguhan
Hubungan.
Hubungan interpersonal tidaklah
bersifat statis, tetapi selalu berubah. Untuk memelihara dan memperteguh hubungan
interpersonal, diperlukan tindakan-tindakan tertentu untuk mengembalikan
keseimbangan. Ada empat faktor penting dalam memelihara keseimbangan ini,
yaitu:
A. Keakraban
(pemenuhan kebutuhan akan kasih sayang antara komunikan dan komunikator).
B. Kontrol
(kesepakatan antara kedua belah pihak yang melakukan komunikasi dan menentukan
siapakah yang lebih dominan didalam komunikasi tersebut).
C. Respon
yang tepat (feedback atau umpan balik yang akan terima jangan sampai
komunikator salah memberikan informasi sehingga komunikan tidak mampu
memberikan feedback yang tepat).
D. Nada
emosional yang tepat (keserasian suasana emosi saat komunikasi sedang
berlangsung).
C.
Intimasi dan hubungan pribadi
Pendapat beberapa ahli mengenai
intimasi, di antara lain yaitu :
a) Shadily
dan Echols (1990) mengartikan intimasi sebagai kelekatan yang kuat yang
didasarkan oleh saling percaya dan kekeluargaan.
b) Sullivan
(Prager, 1995) mendefinisikan intimasi sebagai bentuk tingkah laku penyesuaian
seseorang untuk mengekspresikan akan kebutuhannya terhadap orang lain.
c) Steinberg
(1993) berpendapat bahwa suatu hubungan intim adalah sebuah ikatan emosional
antara dua individu yang didasari oleh kesejahteraan satu sama lain, keinginan
untuk memperlihatkan pribadi masing-masing yang terkadang lebih bersifat
sensitif serta saling berbagi kegemaran dan aktivitas yang sama.
d) Levinger
& Snoek (Brernstein dkk, 1988) merupakan suatu bentuk hubungan yang
berkembang dari suatu hubungan yang bersifat timbal balik antara dua individu.
Keduanya saling berbagi pengalaman dan informasi, bukan saja pada hal-hal yang
berkaitan dengan fakta-fakta umum yang terjadi di sekeliling mereka, tetapi
lebih bersifat pribadi seperti berbagi pengalaman hidup, keyakinan-keyakinan,
pilihan-pilihan, tujuan dan filosofi dalam hidup. Pada tahap ini akan terbentuk
perasaan atau keinginan untuk menyayangi, memperdulikan, dan merasa bertangung
jawab terhadap hal-hal tertentu yang terjadi pada orang yang dekat dengannya.
e) Atwater
(1983) mengemukakan bahwa intimasi mengarah pada suatu
hubungan yang bersifat informal, hubungan kehangatan antara dua orang yang
diakibatkan oleh persatuan yang lama. Intimasi mengarah pada keterbukaan
pribadi dengan orang lain, saling berbagi pikiran dan perasaan mereka yang
terdalam. Intimasi semacam ini membutuhkan komunikasi yang penuh makna
untuk mengetahui dengan pasti apa yang dibagi bersama dan memperkuat ikatan
yang telah terjalin. Hal tersebut dapat terwujud melalui saling berbagi dan
membuka diri, saling menerima dan menghormati, serta kemampuan untuk
merespon kebutuhan orang lain (Harvey dan Omarzu dalam Papalia dkk, 2001).
hubungan yang bersifat informal, hubungan kehangatan antara dua orang yang
diakibatkan oleh persatuan yang lama. Intimasi mengarah pada keterbukaan
pribadi dengan orang lain, saling berbagi pikiran dan perasaan mereka yang
terdalam. Intimasi semacam ini membutuhkan komunikasi yang penuh makna
untuk mengetahui dengan pasti apa yang dibagi bersama dan memperkuat ikatan
yang telah terjalin. Hal tersebut dapat terwujud melalui saling berbagi dan
membuka diri, saling menerima dan menghormati, serta kemampuan untuk
merespon kebutuhan orang lain (Harvey dan Omarzu dalam Papalia dkk, 2001).
Dalam
suatu hubungan juga perlu adanya companionate love, passionate love dan
intimacy love. Karena apabila kurang salah satu saja di dalam suatu hubungan
atau mungkin hanya salah satu di antara ketiganya itu di dalam suatu hubungan
maka yang akan terjadi adalah hubungan tersebut tidak akan berjalan dengan
langgeng atau awet, justru sebaliknya setiap pasangan tidak merasakan
kenyamanan dari pasangannya tersebut sehingga yang terjadi adalah hubungan
tersebut bubar dan tidak akan ada lagi harapan untuk membangun hubungan yang
harmonis dan langgeng.
Komunikasi
yang selalu terjaga, kepercayaan, kejujuran dan saling terbuka pun menjadi
modal yang cukup untuk membina hubungan yang harmonis. Maka jangan kaget
apabila komunikasi kita dengan pasangan tidak berjalan dengan mulus atau selalu
terjaga bisa jadi hubungan kita akan terancam bubar atau hancur. Tentu saja itu
akan menyakitkan hati kita dan setiap pasangan di dunia ini pun tidak pernah
menginginkan hal berikut.
D.
Intimasi dan pertumbuhan
Apapun
alasan untuk berpacaran, untuk bertumbuh dalam keintiman, yang terutama adalah
cinta. Keintiman tidak akan bertumbuh jika tidak ada cinta . Keintiman berarti
proses menyatakan siapa kita sesungguhnya kepada orang lain. Keintiman adalah
kebebasan menjadi diri sendiri. Keintiman berarti proses membuka topeng kita
kepada pasangan kita. Bagaikan menguliti lapisan demi lapisan bawang, kita pun
menunjukkan lapisan demi lapisan kehidupan kita secara utuh kepada pasangan
kita.
Keinginan
setiap pasangan adalah menjadi intim. Kita ingin diterima, dihargai, dihormati,
dianggap berharga oleh pasangan kita. Kita menginginkan hubungan kita menjadi
tempat ternyaman bagi kita ketika kita berbeban. Tempat dimana belas kasihan
dan dukungan ada didalamnya. Namun, respon alami kita adalah penolakan untuk
bisa terbuka terhadap pasangan kita. Hal ini dapat disebabkan karena :
(1)
kita tidak mengenal dan tidak menerima siapa diri kita secara utuh.
(2)
kita tidak menyadari bahwa hubungan pacaran adalah persiapan memasuki pernikahan.
(3)
kita tidak percaya pasangan kita sebagai orang yang dapat dipercaya untuk
memegang rahasia.
(4)
kita dibentuk menjadi orang yang berkepribadian tertutup.
(5)
kita memulai pacaran bukan dengan cinta yang tulus .
Cinta
dan Perkawinan
A.
Memilih Pasangan
Dalam
memilih pasangan hidup, baik bagi laki-laki maupun perempuan keduanya memiliki
hak untuk memilih yang paling tepat sebagai pasangannya. Maka dari itu harus
benar-benar diperhitungkan ketika memilih pasangan yang baik. Bila ingin
pintar, seseorang harus rajin belajar, bila ingin kaya seseorang harus
berhemat, begitu pula tentang pasangan hidup. Bila menginginkan pasangan hidup
yang baik maka kita juga harus baik.
Tidak
ada sesuatu di dunia ini yang dapat dengan mudah kita peroleh tanpa adanya
pengorbanan. Segala sesuatu ada harga-nya termasuk bila ingin mendapatkan
pasangan hidup yang baik. Ya, dimulai dari diri sendiri. Bila kita bercita-cita
untuk mendapatkan pasangan hidup yang baik, maka kita sendiri harus baik.
Percayalah, Tuhan telah memasangkan manusia sesuai dengan karakter dan derajat
mereka masing-masing. Manusia yang baik hanyalah untuk manusia yang baik pula,
begitu pula sebaliknya.
Julianto
Simanjuntak dalam bukunya, menekankan bahwa dalam memilih pasangan harus
ada kesepadanan alias kecocokan. Karena ketika pada awal-awal berpacaran,
kita sering lupa mengenali kepribadian dan latar belakang pasangan. Jadi, cinta
itu bukan hanya sekedar mencintai atau dicintai. Tapi juga dituntut memahami
latar belakang dan kepribadian pasangan anda dengan sepenuhi hati.
B.
Hubungan Dalam Perkawinan
Dawn
J. Lipthrott, LCSW, seorang psikoterapis dan juga marriage and
relationship educator and coach, mengatakan bahwa ada lima tahap
perkembangan dalam kehidupan perkawinan, yaitu :
Tahap
pertama : Romantic Love
Tahap
ini adalah saat Anda dan pasangan merasakan gelora cinta yang menggebu-gebu.
Ini terjadi di saat bulan madu pernikahan. Anda dan pasangan pada tahap ini
selalu melakukan kegiatan bersama-sama dalam situasi romantis dan penuh cinta.
Tahap
kedua : Dissapointment or Distress
Masih
menurut Dawn, di tahap ini pasangan suami istri kerap saling menyalahkan,
memiliki rasa marah dan kecewa pada pasangan, berusaha menang atau lebih benar
dari pasangannya. Terkadang salah satu dari pasangan yang mengalami hal ini
berusaha untuk mengalihkan perasaan stres yang memuncak dengan menjalin
hubungan dengan orang lain, mencurahkan perhatian ke pekerjaan, anak atau hal
lain sepanjang sesuai dengan minat dan kebutuhan masing-masing. Menurut Dawn
tahapan ini bisa membawa pasangan suami-istri ke situasi yang tak tertahankan
lagi terhadap hubungan dengan pasangannya. Banyak pasangan di tahap ini
memilih berpisah dengan pasangannya.
Tahap
ketiga : Knowledge and Awareness
Dawn
mengungkapkan bahwa pasangan suami istri yang sampai pada tahap ini akan lebih
memahami bagaimana posisi dan diri pasangannya. Pasangan ini juga sibuk
menggali informasi tentang bagaimana kebahagiaan pernikahan itu terjadi.
Menurut Dawn juga, pasangan yang sampai di tahap ini biasanya senang untuk meminta
kiat-kiat kebahagiaan rumah tangga kepada pasangan lain yang lebih tua atau
mengikuti seminar-seminar dan konsultasi perkawinan.
Tahap
keempat: Transformation
Suami
istri di tahap ini akan mencoba tingkah laku yang berkenan di hati
pasangannya. Anda akan membuktikan untuk menjadi pasangan yang tepat bagi
pasangan Anda. Dalam tahap ini sudah berkembang sebuah pemahaman yang
menyeluruh antara Anda dan pasangan dalam mensikapi perbedaan yang terjadi.
Saat itu, Anda dan pasangan akan saling menunjukkan penghargaan, empati dan
ketulusan untuk mengembangkan kehidupan perkawinan yang nyaman dan tentram.
Tahap
kelima: Real Love
Psikoterapis
ini menjelaskan pula bahwa waktu yang dimiliki oleh pasangan suami istri seolah
digunakan untuk saling memberikan perhatian satu sama lain. Suami dan istri
semakin menghayati cinta kasih pasangannya sebagai realitas yang menetap. “Real
love sangatlah mungkin untuk Anda dan pasangan jika Anda berdua memiliki
keinginan untuk mewujudkannya. Real love tidak bisa terjadi dengan sendirinya
tanpa adanya usaha Anda berdua,” ingat Dawn.
Hubungan
dalam pernikahan bisa berkembang dalam tahapan yang bisa diduga sebelumnya.
Namun perubahan dari satu tahap ke tahap berikut memang tidak terjadi secara
mencolok dan tak memiliki patokan batas waktu yang pasti. Bisa jadi
antara pasangan suami-istri, yang satu dengan yang lain, memiliki waktu berbeda
saat menghadapi dan melalui tahapannya.
C.
Penyesuaian dan Pernikahan Kembali
Hirning
dan Hirning (1956) mengatakan bahwa penyesuaian perkawinan itu lebihkompleks
dibandingkan yang terlihat. Dua orang memasuki perkawinan harus menyesuaikan
satu sama lain dengan tingkatan yang berbeda-beda. Untuk tingkat organismik
mereka harus menyesuaikan diri dengan sensori, motor, emosional dan kapasitas
intelektual dan kebutuhan. Untuk tingkat kepribadian, masing-masing mereka
harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan, keterampilan, sikap, ketertarikan,
nilai-nilai, sifat, konsep ego, dan kepercayaan. Pasangan juga harus
menyesuaikan dengan lingkungan mereka, termasuk rumah tangga yang baru,
anak-anak, sanak keluarga, teman, dan pekerjaan.
Lasswell
dan Lasswell (1987) mengatakan bahwa konsep dari penyesuaianperkawinan adalah
bahwa dua individu belajar untuk saling mengakomodasikan kebutuhan, keinginan,
dan harapan.
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian perkawinan adalah dua orang
memasuki tahap perkawinan dan mulai membiasakan diri dengan situasi baru
sebagai suami istri yang saling menyesuaikan dengan kepribadian,
lingkungan,kehidupan keluarga, dan saling mengakomodasikan kebutuhan, keinginan
dan harapan.
Banyak
faktor sosial dan demografis yang ditemukan memiliki hubungan dengan
penyesuaian perkawinan (Dyer, 1983). Berikut ini beberapa hal yang mempengaruhi
penyesuaian perkawinan :
Usia
Udry
dan Schoen (dalam Dyer, 1983)mengatakan bahwa penyesuaian pekawinan rendah
apabila pasangan menikah pada usia yang sangat muda, yaitu laki-laki di bawah
20 tahun dan wanita di bawah 18 tahun. Mereka dihadapkan pada tuntutan dan
beban seputar perkawinan, dimana bisa menyebabkan rasa kecewa, berkecil hati,
dan tidak bahagia. Penelitian juga mengatakan bahwa dalam ketidakmatangan,
cenderung untuk melihat perkawinan dari segi romantismenya dan kurang persiapan
untuk menerima tanggung jawab dari perkawinan tersebut.
Tapi
dalam hal perbedaan usia, penelitian ditemukan tidak terlalu meyakinkan. Ada
penelitian menemukan bahwa akan lebih menguntungkan bagi pasangan yang memiliki
usia yang sama (Locke; Blode & Wolfe, dalam Dyer, 1983), namun pada
penelitian lain juga ditemukan bahwa usia yang berbeda tidak memiliki pengaruh
yang signifikan dalam penyesuaian pekawinan (Udry, Nelson & Nelson, dalam
Dyer, 1983).
Agama
Hubungan
antara agama dan penyesuaianperkawinan sudah diselidiki sepanjang tahun.
Walaupun begitu, selalu ditemukan hasil yang berbeda-beda dan selalu tidak
konsisten. Terman (dalam Dyer, 1983) menyimpulkan bahwa latar belakang agama
dari pasangan bukan faktor yang berarti dalam kebahagiaan perkawinan. Pada
penelitian pernikahan beda agama (Christensen & Barber; Glenn, dalam Dyer,
1983) ditemukan bahwa pernikahan beda agama antara Katolik, Yahudi, dan
Protestan sedikit kurang bahagia dibandingkan pernikahan dengan agama yang sama
di ketiga agama tersebut.
Ras
Sejauh
ini tidak ada penelitian khusus penyesuaian perkawinan dimana perkawinan antar
ras sebagai variabelnya. Walaupun ada opini terkenal yang mengatakan bahwa
perkawinan antar ras penuh resiko, sebenarnya secara statistik sangat sedikit
yang mendukung pandangan ini (Udry, dalam Dyer, 1983). Penelitian yang
dilakukan Monahan (dalam Dyer, Universitas Sumatera Utara331983) pada
perkawinan antar ras di Iowa, ditemukan bahwa perkawinan antar kulit hitam dan
putih lebih stabil daripada perkawinan kulit hitam dan hitam; dia juga
menemukan bahwa perkawinan dengan suami kulit hitam dan istri kulit putih
memiliki rata-rata perceraian yang rendah dibandingkan dengan rata-rata
perceraian pada perkawinan kulit putih dan putih.
Dimana
perbedaan sosial dan kultur masih tetap ada dan larangan pada perkawinan antar
ras masih kuat, mereka berusaha untuk tahan menghadapi larangan dan berusaha
kuat untuk menghadapi sangsi yang ada dari kelompok ras mereka masing-masing
Pendidikan
Data
dari survei nasional mengatakan bahwa pendidikan tidak selamanya menjadi faktor
yang penting dalam penyesuaian perkawinan. Glenn dan Weaver (dalam Dyer, 1983)
menemukan tidak ada hubungan yang signifikan antara lamanya mengecap pendidikan
dengan kebahagiaan perkawinan.
Penelitian
terhadap perbedaan pendidikan pada pasangan dengan penyesuaian perkawinan belum
sepenuhnya jelas, karena ada pendapat yang mengatakan bahwa pasangan dengan
tingkat pendidikan yang sama akan lebih puas dengan perkawinannya dan hasil
penelitian yang lain juga mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara perbedaan
tingkat pendidikan suami istri dengan penyesuaianperkawinan (Terman; Burgess
& Wallin, dalam Dyer, 1983).
Keluarga
Pasangan
Salah
satu hal yang harus dihadapioleh pasangan yang baru menikah adalah bagaimana
mengatasi hubungan selanjutnya dengan orang tua dan sanak saudara setelah
menikah. Beberapa penelitian dalam hal saudara istri atau suami mengindikasikan
bahwa masalah ini lebih mempengaruhi wanita daripada pria (Duvall; Komorovsky,
dalam Dyer, 1983). Ibu mertua dan kakak ipar lebih cenderung sebagai masalah
dalam ketidakcocokan dari pada bapak mertua dan abang ipar. Inti dalam
perselisihan biasanya menyangkut aktifitas dan peran wanita dalam rumah tangga.
D.
Alternatif selain Pernikahan
Batasan
usia untuk menikah kini semakin bergeser, apalagi tingkat pendidikan dan
kesibukan meniti karir juga ikut berperan dalam memperpanjang batasan usia
seorang untuk menikah. Keputusan untuk melajang bukan lagi terpaksa, tetapi
merupakan sebuah pilihan. Itulah sebabnya, banyak pria dan perempuan yang
memilih untuk tetap hidup melajang. Alasan yang paling sering dikemukakan oleh
seorang single adalah tidak ingin kebebasannya dikekang. Apalagi jika mereka
telah sekian lama menikmati kebebasan bagaikan burung yang terbang bebas di angkasa.
Jika hendak pergi, tidak perlu meminta ijin dan menganggap pernikahan akan
membelenggu kebebasan. Belum lagi jika mendapatkan pasangan yang sangat posesif
dan cemburu.
Banyak
pria menempatkan pernikahan pada prioritas kesekian, sedangkan karir lebih
mendapat prioritas utama. Dengan hidup melayang, mereka bisa lebih konsentrasi
dan fokus pada pekerjaan, sehingga promosi dan kenaikan jabatan lebih mudah
diperoleh. Biasanya, pelajang lebih bersedia untuk bekerja lembur dan tugas ke
luar kota dalam jangka waktu yang lama, dibandingkan karyawan yang telah
menikah.
Melajang
adalah sebuah sebuah pilihan dan bukan terpaksa, selama pelajang menikmati
hidupnya. Pelajang akan mengakhiri masa lajangnya dengan senang hati jika telah
menemukan seorang yang telah cocok di hati.